Kampus Pemimpin Merdeka (KPM) kembali menggelar Festival Kurikulum Merdeka pada Selasa (23/01) secara daring dan dihadiri 596 peserta. Kegiatan ini diadakan untuk menjawab keresahan banyak guru terkait penerapan Kurikulum Merdeka.
Guru sering mengikuti pelatihan tapi hanya mendapat materi teoritis sehingga kesulitan membayangkan implementasinya. Hal tersebut membuat mereka bingung apakah yang mereka lakukan di kelas sudah sesuai dengan esensi Kurikulum Merdeka.
Oleh karena itu, dua puluh guru yang merupakan alumni program Siap Kurikulum berbagi praktik baik pembelajaran dan kepemimpinan. Mereka berasal dari jenjang mengajar dan daerah yang berbeda.
Dua diantaranya yaitu Murtiningsih, guru TK Al Muslim Waru Sidoarjo, Jawa Timur, dan Hotdiana Nababan, guru SMK Negeri 2 Rantau Utara, Labuhanbatu, Sumatera Utara.
Baca juga: Lisna Nurjanah: Guru Abad 21 Tidak Hanya Fasih Teknologi
Gali Ide dan Aksi Kritis Murid TK dengan Projek
Pemikiran dan tindakan kritis harus dibangun sejak dini. Hal tersebut yang mendorong Murtiningsih selalu mengajak murid-muridnya terlibat dalam pembelajaran secara utuh meskipun masih TK.
Salah satu pengalamannya yakni saat menerapkan pembelajaran berbasis projek. Murtiningsih mengawali dengan memberikan beberapa pertanyaan pemantik ke murid. Pertanyaan yang diberikan mengajak murid untuk memperhatikan lingkungan sekolah.
Beragam komentar muncul dan kebanyakan menyatakan hal yang sama yaitu mengenai halaman sekolah yang kotor. Saat itu, kondisi halaman TK Al Muslim memang banyak daun kering berserakan.
“Saya berikan terus pertanyaan untuk mengajak anak berpikir. Seperti, apa yang bisa kita lakukan ya dengan sampah daun ini? Celotehan anak di luar dugaan saya, sangat bervariasi. Ada yang bilang bisa untuk belajar, dibuat topi, ada bilang orang tuanya pernah bercerita kalau daun bisa untuk pupuk,” cerita Murtiningsih.
Kemudian dia mengajak murid menonton video dengan tema bumi dan sampah. Setelahnya memberi tugas agar berdiskusi lebih lanjut dengan orangtua di rumah. Saat kembali berunding di sekolah, murid membuat mind map ide pemanfaatan sampah daun kering. Ada beberapa murid yang belum bisa menulis, maka Murtiningsih akan membantunya.
“Aksi anak macam-macam dan semua itu hasil ide mereka sendiri, bukan karena perintah saya atau orangtuanya. Ide dari mereka setelah diskusi bersama. Ada yang melakukan kampanye kebersihan lingkungan, membuat pupuk kompos lalu pupuknya dijual ke guru dan orangtua murid, dan lainnya, macam-macam,” jelasnya.
Bangun Karakter Murid dengan Umpan Balik Bermakna
Sedangkan Hotdiana, menceritakan pengalamannya memberi umpan balik bermakna yang bisa membangun karakter baik murid. Sebelumnya, dia resah karena murid suka mencontek. Dia mencoba menelusuri kenapa tindakan murid seperti itu terus terjadi, meskipun murid sudah sering ditegur.
“Ternyata karena orientasi murid masih pada nilai. Untuk mencapai nilai yang tinggi, murid akan menghalalkan berbagai cara, termasuk menyalin tugas temannya. Ini karena juga budaya asesmen sebelumnya yang memang orientasinya pada nilai,” ungkapnya.
Umpan balik yang diberikan berupa apa saja yang sudah baik dari tugas murid dan bagian apa saja yang bisa diperbaiki. Namun, perubahan tentu tidak langsung terjadi. Awalnya, murid masih tidak peduli dan kebanyakan mengabaikan umpan balik yang diberikan.
Baca juga: Webinar Kampus Guru Cikal, Panduan Sukses P5
Meskipun demikian, Hotdiana tetap terus melakukannya, tapi dengan strategi tambahan:
- Saat memberikan umpan balik, murid akan diminta untuk membaca di depannya. Selanjutnya murid diberi pertanyaan, “apakah ada yang belum dipahami dan ingin ditanyakan dari feedback tersebut?”
- Secara terus menerus menyampaikan ke murid bahwa nilai bukan segalanya, melainkan meningkatkan kompetensi
- Di akhir semester, murid akan mendapatkan sertifikat. Sertifikat terkait perubahan sikap dan karakter murid selama satu semester bukan prestasi angka akademik.
Secara perlahan, ada perubahan dalam diri murid Hotdiana. Murid mulai terbiasa membaca umpan balik dan menanggapinya. Bahkan ada yang menanti umpan balik saat mengumpulkan tugas.
“Secara emosional juga jadi dekat dengan saya. Lalu murid jadi lebih mandiri alias tidak mencontek karena sudah tahu, oh saya kurangnya di sini, jadi apa saja yang perlu dilakukan. Meskipun ya masih ada saja yang mencontek, tapi berkurang. Yang penting saya konsisten karena karakter dan budaya murid butuh waktu untuk berubah,” pungkas Hotdiana.