Kampus Pemimpin Merdeka menggelar Festival Siap Kurikulum Merdeka pada Jumat (17/11) sore hari secara daring. Festival tersebut bertujuan memperluas praktik baik peserta program Siap Kurikulum, seperti penerapan projek profil, pembelajaran berdiferensiasi, dan penggunaan media ajar.
Dari 324 peserta batch 1-4, terpilih 12 guru asal berbagai daerah yang berkesempatan berbagi praktik baiknya. Diantaranya Alia Yovica, guru SMP Negeri 29 Sijunjung, dan Dewi Handayani, guru SD Negeri 13 Sanggau.
Projek Profil “Stop Bullying”, Tingkatkan Empati Murid
Pada projek sebelumnya, Alia bersama rekan gurunya masih salah paham terhadap penerapan projek profil. Projek profil yang Alia adakan tiga bulan sebelumnya itu masih mengharuskan murid menghasilkan produk. Hal tersebut berdampak pada murid, banyak yang mengatakan bosan.
Setelah mengikuti program Siap Kurikulum, Alia baru mengetahui tujuan utama projek profil, yakni menjadikan murid bagian dari problem solver atas masalah di sekitarnya. Dari pemahaman itu, hasil projek berbentuk produk bukan sebuah kewajiban.
“Kami, koordinator dan fasilitator duduk bersama dulu. Kami sepakati alur aktivitasnya, yaitu tahap pengenalan, kontekstualisasi, aksi, refleksi, dan tindak lanjut. Sesuai yang kami pelajari di program Siap Kurikulum,” terang Alia.
Mereka sepakat, pembelajaran P5 setiap hari Selasa hingga Sabtu, tiap harinya 2 jam pelajaran. Kegiatan pertama adalah memberikan sosialisasi projek ke murid agar mereka paham mengapa murid perlu melakukan projek tersebut.
Selama sepuluh minggu, aktivitas yang dilakukan adalah, analisis video bullying, mencurahkan bentuk-bentuk bullying yang pernah diterima, menyampaikan hal yang disukai dan tidak dalam pertemanan, melakukan kerjasama dengan pihak sosial dan kepolisian untuk pendalaman ilmu, kampanye anti bullying di sekolah, dan yang terakhir membuat naskah drama.
“Pada aktivitas kami sering memberikan kemerdekaan untuk memilih sesuai minatnya. Seperti misalnya saat membuat dan memperagakan naskah drama, murid mendapat kebebasan untuk memilih apakah dramanya tentang bullying verbal, fisik, atau relasional,” kata Alia.
Pada sesi terakhir, Alia mengajak murid untuk berefleksi terkait apa yang sudah mereka pelajari dan apa yang ingin mereka perbaiki. Murid menyatakan pembelajaran seru karena aktivitas yang beragam. Mereka juga menyampaikan bahwa jadi lebih mengetahui tindakan apa saja yang disebut bullying dan bertekad untuk lebih menyayangi teman-temannya.
Kolaborasi Antar Mapel untuk Kenalkan Budaya Sanggau
Sedangkan Dewi berbagi pengalamannya menggabungkan mata pelajaran IPS dan Bahasa Indonesia untuk mengenalkan budaya Sanggau.
Saat itu, materi IPS yang sedang dibahas adalah mengenai budaya negara ASEAN. Sedangkan pada pelajaran bahasa Indonesia, murid diharapkan memiliki kompetensi untuk menyajikan kesimpulan secara lisan dan tulis dari hasil pengamatan dan wawancara.
Setelah mengajak murid berdiskusi, Dewi mengajak murid untuk menonton macam-macam tarian daerah Sanggau. Pasalnya, dari hasil diskusi, banyak yang tidak tahu sama sekali mengenai seni budaya daerah yang ada di Kalimantan Barat itu.
“Baru setelahnya saya ajak mereka ke Dekranasda, Dewan Kerajinan Nasional Daerah, lalu ke rumah pengrajin sulam kalengkang khas Sanggau. Murid menyiapkan pertanyaan untuk melakukan wawancara,” jelas Dewi.
Dari hasil wawancara tersebut, murid menyimpulkan, oleh-oleh yang paling laris adalah gantungan kunci. Mereka pun menyepakati ingin membuat gantungan kunci khas Sanggau untuk nantinya dititipkan di Dekranasda.
Murid berdiskusi ingin membuat gantungan kunci seperti apa. Dewi membantu dengan memberi tontonan video kerajinan tangan khas Sanggau. Murid sepakat memilih gantungan kunci berbahan dasar daun, ada yang daun pisang kering, daun pakis, daun nangka, dan daun rambutan.
“Kami kemudian ke toko bahan bersama-sama. Murid belajar berkomunikasi dengan penjual. Setiap murid mendapat peran, misalnya ada yang bertugas mencatat pengeluaran, menghitung item bahan, dan lainnya,” jelas guru kelas 6 itu.
Dewi mengungkapkan, pembelajaran ini membuat murid lebih bersemangat untuk berangkat sekolah. Murid juga belajar untuk memberi dan mengembangkan ide. Selain itu, murid jadi lebih peka, saling tolong menolong satu sama lain.
“Saya juga salut ketika setelah selesai mereka membersihkan dan membereskan peralatan sendiri tanpa komando dari saya,” tutup Dewi.
Pingback: Webinar Projek Profil Kampus Guru Cikal: Panduan Sukses P5 - Yayasan Guru Belajar
Pingback: 22 Guru dan Relawan dari Amerika Serikat Berbagi Praktik Baik - Yayasan Guru Belajar