Menurut riset National Foundation for Educational Research, guru masuk dalam jajaran profesi yang paling membuat stres. Kondisi ini semakin parah pasca pandemi karena guru menghadapi murid yang mengalami learning-loss, yang ditunjukkan dengan menurunnya tingkat literasi dan numerasi.
Amalia Jiandra, koordinator kurikulum Guru Belajar Foundation, berbagi pengalamannya mengelola emosi saat menjadi guru. Hal ini disampaikan saat menjadi narasumber webinar “Mengelola Emosi untuk Guru” yang diselenggarakan Kampus Guru Cikal, Karier.Mu, dan Gerakan Mengajar Desa pada Sabtu (27/01).
Sadar Terhadap Emosi Diri Sendiri
Tidak hanya guru, semua orang diharapkan memiliki kemampuan “to be mindful” atau hadir sepenuhnya. Maksudnya, sadar di mana dirinya berada dan apa yang dilakukan. Dengan menjadi sadar, maka seseorang tidak akan terlalu reaktif dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Sebagai guru, banyak hal yang bisa memicu emosi termasuk marah, sedih, dan kecewa. Oleh karena itu, guru harus sadar penuh agar bisa mengenali emosi apa yang sebenarnya dia alami. Menyadari emosi membuat guru bisa menentukan reaksi dan sikap dengan bijak.
“Kita guru pasti punya tujuan yang baik. Misalnya kita nggak mau kalau murid kita merokok. Tapi kalau nggak hadir utuh, tujuan baik itu nggak sampai ke murid. Jadinya marah-marah aja yang keluar dan sampai ke murid,” jelas Amalia.
Untuk melatih kesadaran penuh, Amalia memberikan beberapa tips:
- Melakukan journaling secara rutin, menuliskan perasaan dan pemikiran setiap harinya.
- Mendengarkan atau memainkan alat musik. Tidak harus bermain musik secara profesional, yang penting bisa merasakan irama dan ketukannya.
- Menyediakan waktu khusus untuk merenung atau meditasi.
- Menggambar, mencoret-coret, dan mewarnai yang tidak fokus pada hasil melainkan prosesnya.
- Selalu mengungkapkan syukur terhadap 3 hal setiap harinya.
- Melakukan peregangan otot.
- Berjalan kaki dengan sadar.
Amalia menyarankan agar tips tersebut juga diterapkan ke murid-muridnya.
Strategi Mengembangkan Perilaku Positif Murid
Meskipun sudah mampu mengelola emosi terkadang guru masih bingung bagaimana menghadapi murid yang sering melanggar kesepakatan. Amalia membagikan tiga strategi mengembangkan perilaku positif murid.
Pertama, fokus ke tujuan perilaku positifnya. Misalnya murid datang terlambat ke sekolah. Setelah diskusi dengan murid, guru jadi tahu kalau kesalahannya ada di manajemen diri. Dari situ guru bisa memikirkan bagaimana bisa membantu sang murid. Sehingga fokus bukan pada terlambatnya.
Kedua, segera beri respon untuk dorong perilaku positif saat itu juga, baik saat murid melakukan tindakan negatif maupun positif. Respon ini dapat membantu murid melakukan resfleksi.
“Ajukan pertanyaan yang membangun percakapan reflektif. Misalnya, menurutmu gimana caranya agar kamu bisa mengerjakan tugas tepat waktu? Menurutmu kita belajar ini untuk apa?” jelas Amalia.
Selanjutnya, beri umpan balik yang spesifik. Alih-alih hanya berkata, “Wah kamu makin pintar!”, guru bisa mengatakan “Bapak/Ibu lihat hitunganmu lebih teliti, biasanya kamu salah di bagian ini. Kali ini sudah benar jawabannya. Boleh ceritakan bagaimana tadi proses kamu menghitung?”
“Hal ini juga berlaku saat murid bertindak tidak sesuai yang tidak kita harapkan. Coba bandingkan kalimat ‘kamu kalau malas gini nggak naik kelas lho’ dengan “Bapak/Ibu lihat kamu kurang semangat. Bener? Coba cerita kenapa, ada yang bisa Bapak/Ibu bantu?’ murid diajak berefleksi dan kita sebagai guru memfasilitasi untuk membantu mereka,” pungkas Amalia. (YMH)