Disiplin positif

Murid Ramai di Kelas, Ini 5 Langkah Buat Kesepakatan Kelas Agar Disiplin

Manajemen kelas merupakan tantangan yang sering dihadapi oleh guru; murid yang sibuk berbicara sendiri, murid tidak mengumpulkan tugas, hingga kelas yang berantakan. Peraturan telah dibuat tapi murid kerap melanggarnya. Marsaria Primadonna, ketua Kampus Guru Cikal, menuturkan, tantangan tersebut dapat diatasi dengan menerapkan disiplin positif. Salah satu unsurnya yakni membuat kesepakatan kelas yang kini juga didorong penerapannya di era Kurikulum Merdeka. “Dengan kesepakatan kelas, murid secara utuh dilibatkan dalam membuat dos dan don’ts tindakan atau perilaku dalam proses belajar. Jadi akan tumbuh dari dalam rasa tanggung jawab untuk melakukan kesepakatan itu,” terang Pima sapaan akrab Marsaria. Guru yang telah mengajar dua puluh tahun lebih ini menceritakan pengalamannya mengajak murid berdiskusi untuk merumuskan kesepakatan kelas. Ada lima langkah yang bisa menjadi panduan guru. 1. Diskusi Pentingnya Kesepakatan Kelas dengan Murid Pada tahap ini, guru bisa melempar beberapa pertanyaan pemantik ke murid. Beberapa pertanyaan rekomendasi dari Pima yakni  “Mengapa penting untuk punya kesepakatan bersama di kelas?” “Mengapa penting untuk murid terlibat penuh dalam membuat kesepakatannya?” “Mengapa penting untuk untuk sepakat?” “Mengapa tidak guru saja yang membuat lalu disepakati oleh murid?” Hasil diskusi ini adalah menyepakati bersama bahwa murid perlu aktif saat merumuskan kesepakatan kelas. 2. Menggambar Kelas yang Ideal Pada tahap selanjutnya, guru mengajak murid menyiapkan alat tulis dan menggambar kelas yang ideal. Murid dapat berimajinasi dan berkreasi sehingga terbayang jika mereka disiplin terhadap kesepakatan, mereka sendiri yang merasakan manfaatnya. “Mengapa menggambar? Karena murid semua jenjang dapat menggambar. Meskipun mungkin ada yang gambarnya lebih abstrak, itu tidak masalah,” kata Pima. 3. Curah Ide Setelah menggambar, murid diajak untuk menerjemahkan gambarnya ke dalam poin-poin tulisan. Perbedaan jenjang akan butuh perbedaan intervensi. Misalnya murid PAUD mungkin akan membutuhkan bantuan guru untuk menulis. “Untuk guru PAUD atau murid kelas satu, misalnya guru harus tanya ke murid, apa yang mereka gambar dan menuliskannya. Tapi untuk jenjang yang lebih tinggi, mereka akan bisa lebih mandiri,” terang Pima. 4. Diskusi untuk Merumuskan Poin Kesepakatan Berikutnya, bagi murid ke dalam kelompok kecil untuk memulai aktivitas diskusi. Dengan demikian, murid belajar berkolaborasi dan mulai menyadari bahwa mungkin ada poin-poin keinginannya yang tidak sesuai dengan milik temannya. Guru dapat memberikan kanvas diskusi sebagai panduan agar diskusi berjalan efektif. Pima menjelaskan, kanvas bisa dibuat sederhana dengan membuat tabel yang berisi beberapa pertanyaan. “Seperti apa kelas impian mu?” “Bagaimana cara kita supaya bisa berinteraksi dengan baik?” “Bagaimana mewujudkan semua itu?” “Bagaimana kita sebagai murid bisa membuat kelas kita aman dan nyaman?” “Apa saja kesepakatan kelas yang perlu ada?” Guru dapat membuat format berbeda untuk diskusi tapi pastikan mudah dilakukan oleh murid. 5. Membuat Kalimat Kesepakatan Langkah terakhir yakni merumuskan kalimat kesepakatan kelas. Untuk guru kelas atas, bisa mempersilakan salah satu murid untuk memimpin diskusi. Pada tahap ini, semua masukan dari tiap tim ditampung lalu didiskusikan. “Nah, itu kan akan ada banyak poin-poin dari masing-masing grup. Bisa dikelompokkan yang sama atau bertujuan sama, diparafrase, dan dibuat 3-5 kalimat positif. Kalimat positif, misalnya, bukan ‘jangan makan di kelas’, melainkan ‘menjaga kebersihan kelas’, seperti itu,” terang Pima. Menurut Pima sesuai pengalamannya, melibatkan penuh murid seperti ini sangat membantu agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan nyaman.

Murid Ramai di Kelas, Ini 5 Langkah Buat Kesepakatan Kelas Agar Disiplin Read More »

Menerapkan deep learning di sekolah

Festival Kurikulum Merdeka: Praktik Baik Guru TK hingga SMK

Kampus Pemimpin Merdeka (KPM) kembali menggelar Festival Kurikulum Merdeka pada Selasa (23/01) secara daring dan dihadiri 596 peserta. Kegiatan ini diadakan untuk menjawab keresahan banyak guru terkait penerapan Kurikulum Merdeka. Guru sering mengikuti pelatihan tapi hanya mendapat materi teoritis sehingga kesulitan membayangkan implementasinya. Hal tersebut membuat mereka bingung apakah yang mereka lakukan di kelas sudah sesuai dengan esensi Kurikulum Merdeka. Oleh karena itu, dua puluh guru yang merupakan alumni program Siap Kurikulum berbagi praktik baik pembelajaran dan kepemimpinan. Mereka berasal dari jenjang mengajar dan daerah yang berbeda. Dua diantaranya yaitu Murtiningsih, guru TK Al Muslim Waru Sidoarjo, Jawa Timur, dan Hotdiana Nababan, guru SMK Negeri 2 Rantau Utara, Labuhanbatu, Sumatera Utara. Baca juga: Lisna Nurjanah: Guru Abad 21 Tidak Hanya Fasih Teknologi Gali Ide dan Aksi Kritis Murid TK dengan Projek Pemikiran dan tindakan kritis harus dibangun sejak dini. Hal tersebut yang mendorong Murtiningsih selalu mengajak murid-muridnya terlibat dalam pembelajaran secara utuh meskipun masih TK. Salah satu pengalamannya yakni saat menerapkan pembelajaran berbasis projek. Murtiningsih mengawali dengan memberikan beberapa pertanyaan pemantik ke murid. Pertanyaan yang diberikan mengajak murid untuk memperhatikan lingkungan sekolah. Beragam komentar muncul dan kebanyakan menyatakan hal yang sama yaitu mengenai halaman sekolah yang kotor. Saat itu, kondisi halaman TK Al Muslim memang banyak daun kering berserakan. “Saya berikan terus pertanyaan untuk mengajak anak berpikir. Seperti, apa yang bisa kita lakukan ya dengan sampah daun ini? Celotehan anak di luar dugaan saya, sangat bervariasi. Ada yang bilang bisa untuk belajar, dibuat topi, ada bilang orang tuanya pernah bercerita kalau daun bisa untuk pupuk,” cerita Murtiningsih. Kemudian dia mengajak murid menonton video dengan tema bumi dan sampah. Setelahnya memberi tugas agar berdiskusi lebih lanjut dengan orangtua di rumah. Saat kembali berunding di sekolah, murid membuat mind map ide pemanfaatan sampah daun kering. Ada beberapa murid yang belum bisa menulis, maka Murtiningsih akan membantunya. “Aksi anak macam-macam dan semua itu hasil ide mereka sendiri, bukan karena perintah saya atau orangtuanya. Ide dari mereka setelah diskusi bersama. Ada yang melakukan kampanye kebersihan lingkungan, membuat pupuk kompos lalu pupuknya dijual ke guru dan orangtua murid, dan lainnya, macam-macam,” jelasnya. Bangun Karakter Murid dengan Umpan Balik Bermakna Sedangkan Hotdiana, menceritakan pengalamannya memberi umpan balik bermakna yang bisa membangun karakter baik murid. Sebelumnya, dia resah karena murid suka mencontek. Dia mencoba menelusuri kenapa tindakan murid seperti itu terus terjadi, meskipun murid sudah sering ditegur. “Ternyata karena orientasi murid masih pada nilai. Untuk mencapai nilai yang tinggi, murid akan menghalalkan berbagai cara, termasuk menyalin tugas temannya. Ini karena juga budaya asesmen sebelumnya yang memang orientasinya pada nilai,” ungkapnya. Umpan balik yang diberikan berupa apa saja yang sudah baik dari tugas murid dan bagian apa saja yang bisa diperbaiki. Namun, perubahan tentu tidak langsung terjadi. Awalnya, murid masih tidak peduli dan kebanyakan mengabaikan umpan balik yang diberikan. Baca juga: Webinar Kampus Guru Cikal, Panduan Sukses P5 Meskipun demikian, Hotdiana tetap terus melakukannya, tapi dengan strategi tambahan: Saat memberikan umpan balik, murid akan diminta untuk membaca di depannya. Selanjutnya murid diberi pertanyaan, “apakah ada yang belum dipahami dan ingin ditanyakan dari feedback tersebut?” Secara terus menerus menyampaikan ke murid bahwa nilai bukan segalanya, melainkan meningkatkan kompetensi Di akhir semester, murid akan mendapatkan sertifikat. Sertifikat terkait perubahan sikap dan karakter murid selama satu semester bukan prestasi angka akademik. Secara perlahan, ada perubahan dalam diri murid Hotdiana. Murid mulai terbiasa membaca umpan balik dan menanggapinya. Bahkan ada yang menanti umpan balik saat mengumpulkan tugas.  “Secara emosional juga jadi dekat dengan saya. Lalu murid jadi lebih mandiri alias tidak mencontek karena sudah tahu, oh saya kurangnya di sini, jadi apa saja yang perlu dilakukan. Meskipun ya masih ada saja yang mencontek, tapi berkurang. Yang penting saya konsisten karena karakter dan budaya murid butuh waktu untuk berubah,” pungkas Hotdiana.

Festival Kurikulum Merdeka: Praktik Baik Guru TK hingga SMK Read More »

profesi paling stres

Guru jadi Profesi Paling Bikin Stres, Ini Cara Mengelola Emosi

Menurut riset National Foundation for Educational Research, guru masuk dalam jajaran profesi yang paling membuat stres. Kondisi ini semakin parah pasca pandemi karena guru menghadapi murid yang mengalami learning-loss, yang ditunjukkan dengan menurunnya tingkat literasi dan numerasi. Amalia Jiandra, koordinator kurikulum Guru Belajar Foundation, berbagi pengalamannya mengelola emosi saat menjadi guru. Hal ini disampaikan saat menjadi narasumber webinar “Mengelola Emosi untuk Guru” yang diselenggarakan Kampus Guru Cikal, Karier.Mu, dan Gerakan Mengajar Desa pada Sabtu (27/01). Sadar Terhadap Emosi Diri Sendiri Tidak hanya guru, semua orang diharapkan memiliki kemampuan “to be mindful” atau hadir sepenuhnya. Maksudnya, sadar di mana dirinya berada dan apa yang dilakukan. Dengan menjadi sadar, maka seseorang tidak akan terlalu reaktif dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Sebagai guru, banyak hal yang bisa memicu emosi termasuk marah, sedih, dan kecewa. Oleh karena itu, guru harus sadar penuh agar bisa mengenali emosi apa yang sebenarnya dia alami. Menyadari emosi membuat guru bisa menentukan reaksi dan sikap dengan bijak. “Kita guru pasti punya tujuan yang baik. Misalnya kita nggak mau kalau murid kita merokok. Tapi kalau nggak hadir utuh, tujuan baik itu nggak sampai ke murid. Jadinya marah-marah aja yang keluar dan sampai ke murid,” jelas Amalia. Untuk melatih kesadaran penuh, Amalia memberikan beberapa tips: Melakukan journaling secara rutin, menuliskan perasaan dan pemikiran setiap harinya. Mendengarkan atau memainkan alat musik. Tidak harus bermain musik secara profesional, yang penting bisa merasakan irama dan ketukannya. Menyediakan waktu khusus untuk merenung atau meditasi. Menggambar, mencoret-coret, dan mewarnai yang tidak fokus pada hasil melainkan prosesnya. Selalu mengungkapkan syukur terhadap 3 hal setiap harinya. Melakukan peregangan otot. Berjalan kaki dengan sadar. Amalia menyarankan agar tips tersebut juga diterapkan ke murid-muridnya. Strategi Mengembangkan Perilaku Positif Murid Meskipun sudah mampu mengelola emosi terkadang guru masih bingung bagaimana menghadapi murid yang sering melanggar kesepakatan. Amalia membagikan tiga strategi mengembangkan perilaku positif murid. Pertama, fokus ke tujuan perilaku positifnya. Misalnya murid datang terlambat ke sekolah. Setelah diskusi dengan murid, guru jadi tahu kalau kesalahannya ada di manajemen diri. Dari situ guru bisa memikirkan bagaimana bisa membantu sang murid. Sehingga fokus bukan pada terlambatnya. Kedua, segera beri respon untuk dorong perilaku positif saat itu juga, baik saat murid melakukan tindakan negatif maupun positif. Respon ini dapat membantu murid melakukan resfleksi. “Ajukan pertanyaan yang membangun percakapan reflektif. Misalnya, menurutmu gimana caranya agar kamu bisa mengerjakan tugas tepat waktu? Menurutmu kita belajar ini untuk apa?” jelas Amalia. Selanjutnya, beri umpan balik yang spesifik. Alih-alih hanya berkata, “Wah kamu makin pintar!”, guru bisa mengatakan “Bapak/Ibu lihat hitunganmu lebih teliti, biasanya kamu salah di bagian ini. Kali ini sudah benar jawabannya. Boleh ceritakan bagaimana tadi proses kamu menghitung?” “Hal ini juga berlaku saat murid bertindak tidak sesuai yang tidak kita harapkan. Coba bandingkan kalimat ‘kamu kalau malas gini nggak naik kelas lho’ dengan “Bapak/Ibu lihat kamu kurang semangat. Bener? Coba cerita kenapa, ada yang bisa Bapak/Ibu bantu?’ murid diajak berefleksi dan kita sebagai guru memfasilitasi untuk membantu mereka,” pungkas Amalia. (YMH)

Guru jadi Profesi Paling Bikin Stres, Ini Cara Mengelola Emosi Read More »

Backward design dalam pembelajaran

Masuk Semester Genap Lebih Siap, Gunakan Backward Design

Akhir semester merupakan waktu yang melelahkan bagi guru. Pasalnya, ada banyak tugas yang perlu mereka lakukan, seperti membuat rubrik asesmen, memeriksa tugas murid, hingga menulis raport. Marsaria Primadonna, ketua Kampus Guru Cikal, menjelaskan, ada cara agar beban kerja guru tidak menumpuk di akhir semester, yakni dengan backward design. Cara ini juga membantu agar guru tidak fokus pada mengajar melainkan belajar. “Backward design itu merancang terbalik proses yang biasa kita lakukan dulu. Jadi kita identifikasi dulu tujuannya, setelah itu merancang asesmen sumatif dan rubrik asesmen dulu, baru aktivitasnya,” jelas Pima, sapaan akrab Marsaria. Guru-guru seringkali akan keteteran ketika akan melakukan asesmen. Pasalnya, ada tujuan pembelajaran yang ternyata belum didukung aktivitas yang sudah dilakukan. Pada akhirnya guru mendadak membuat asesmen yang tidak sesuai. 3 Langkah Backward Design Berdasar pengalamannya mengajar hampir 20 tahun, Pima mengatakan, backward design sangat membantunya dalam proses merancang pembelajaran. Misalnya, di akhir semester, dia sudah siap dengan rubrik asesmen sehingga tidak perlu pusing dengan raport.  Berikut tiga langkah backward design yang Pima lakukan.  Identifikasi Tujuan Pada proses merancang pembelajaran tradisional, guru biasanya menuliskan terlebih dahulu sejumlah aktivitas belajar. Namun, pada backward design, identifikasi tujuan pembelajaran harus ditetapkan di awal. “Pada tahap ini, guru memikirkan, di akhir nanti, tujuannya murid bisa apa? Pemahaman apa yang ingin ada di dalam diri murid? Kompetensi apa? Atau kondisi akhir apa yang ingin dicapai?” jelas Pima. Merancang Asesmen Selanjutnya, guru perlu merancang asesmen sebagai bahan bukti dan refleksi apakah murid sudah mencapai tujuan. Oleh karena sebagai bahan refleksi, maka asesmen yang dirancang tidak hanya asemen sumatif, melainkan juga asesmen formatif. “Asesmen formatif menitikberatkan pada umpan balik dan dilakukan berkala sepanjang semester. Asesmen ini membantu guru dan murid untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar murid dalam mencapai tujuan,” terang Pima. Sedangkan saat merancang asesmen sumatif, guru perlu memahami bahwa asesmen ini tidak hanya terbatas pada ujian tulis. Ada banyak kegiatan untuk menilai keberhasilan belajar murid, misalnya membuat projek. Merancang Aktivitas Belajar Apabila biasanya langkah ini guru lakukan paling awal, maka pada backward design adalah langkah terakhir. Dengan mempertimbangkan kebutuhan murid, guru dapat memilih aktivitas belajar yang dapat mendukung murid mencapai tujuan belajarnya. “Dengan merancang pembelajaran menggunakan cara ini, akan memudahkan guru untuk membuat aktivitas pembelajaran yang bermakna sesuai kebutuhan murid, dan guru jadi lebih tenang dalam menjalankan perencanaan yang matang,” tutup Pima. (YMH)

Masuk Semester Genap Lebih Siap, Gunakan Backward Design Read More »

guru merdeka belajar

Lisna Nurjanah: Guru Abad 21 Tidak Hanya Fasih Teknologi

Sekolah masa kini sering menuntut agar gurunya memiliki kemampuan sebagai guru abad ke-21. Namun, kebanyakan calon guru salah menyangka, mengira kemampuan tersebut maksudnya hanya terkait pada penggunaan teknologi. Lisna Nurjanah, guru muda yang saat ini mengajar di Sekolah Murid Merdeka, menerangkan, guru abad ke-21 sebenarnya bukan hanya terkait dengan penggunaan teknologi. Namun, bagaimana seorang guru yang tidak hanya mengajar, melainkan menjadi pembelajar sepanjang hayat. “Guru itu kan membantu anak belajar.  Anak adalah generasi penerus bangsa, nantinya mereka akan jadi orang yang hebat. Kalau aku tidak terus belajar, bagaimana bisa membantu mereka?” kata Lisna. Pandangan baru tersebut baru dia dapatkan setelah mengikuti program Teacher Talent dari Kampus Guru Cikal akhir tahun lalu. Lisna menambahkan, guru yang menjadi pembelajar sepanjang hayat adalah guru yang merdeka belajar. “Aku pernah melakukan kesalahan yang membuat murid jadi tidak nyaman belajar di kelas. Hal tersebut tentu mempengaruhi hasil belajarnya. Nah, kalau aku tidak belajar, bagaimana bisa aku tahu kalau hal tersebut salah dan memperbaikinya,” tuturnya. Prinsip Guru Abad ke-21 Ada tiga prinsip yang dimiliki oleh guru abad ke-21, yakni komitmen pada tujuan, mandiri terhadap cara, dan konsisten melakukan refleksi.  Menurut Lisna, guru acap kali fokus membuat pembelajaran yang menyenangkan dan menggunakan teknologi yang keren hingga lupa pada tujuan pembelajarannya. Guru abad ke-21 seharusnya mampu merancang strategi pembelajaran yang bermakna. Meskipun menyenangkan tapi tidak menggeser tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan di awal. Selanjutnya, mandiri terhadap cara. Guru bukan profesi yang mudah karena setiap murid memiliki karakter dan minat masing-masing. Untuk menemukan strategi pembelajaran yang tepat tentu akan ada banyak tantangan yang dihadapi. Dalam menghadapi tantangan, guru abad ke-21 mandiri mencari cara alih-alih mengeluh. Ketiga, konsisten melakukan refleksi. Lisna mengaku, sebelum ikut Teacher Talent Certification, dirinya jarang mengajak murid melakukan refleksi. Tidak hanya itu, pertanyaan yang Lisna ajukan cenderung tidak memantik. “Dulu saat aku ajak murid melakukan refleksi, aku hanya bertanya, bagaimana perasaan hari ini, apa yang sudah kita pelajari. Itu pun tidak konsisten setiap hari,” ungkapnya. “Kalau sekarang, saya ajak murid berdiskusi. Apa saja yang sudah baik dari proses belajar kita, apa yang belum dan perlu kita perbaiki. Aku juga akan bertanya, ilmu yang kita pelajari hari ini, bermanfaat buat apa sih buat teman kita, buat lingkungan sekitar kita,” lanjutnya. Lisna berharap, semakin banyak guru muda yang memiliki bekal kompetensi sebagai guru abad ke-21. Dengan demikian, dia yakin, pendidikan di Indonesia akan semakin baik.

Lisna Nurjanah: Guru Abad 21 Tidak Hanya Fasih Teknologi Read More »