
Guru Belajar Foundation kembali menggelar debat guru pada Sabtu (2/11) di Pos Bloc, Jakarta Pusat. Terdiri dari empat sesi, sesi terakhir merupakan debat spesial yang menghadirkan 8 guru terpilih dari 32 tim yang telah beradu argumen di sesi sebelumnya.
Melalui debat, guru diharapkan dapat belajar untuk berani bersuara dan berargumentasi dalam merespons suatu isu.
“Guru, sebagai salah satu pihak yang terdampak langsung dari kebijakan pendidikan, penting untuk selalu dapat berpikir kritis dan menyuarakan pendapatnya untuk mengadvokasikan kebijakan yang lebih baik,” tutur Pandu Ario Bismo, Wakil Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, yang bertindak sebagai salah satu juri debat spesial.
Seperti halnya dengan mosi di kelas-kelas debat pada pagi harinya, mosi pada sesi debat spesial merupakan isu pendidikan yang relevan, menarik, dan penting untuk diangkat, yakni “Kembalinya Ujian Nasional (UN) sebagai Alat Ukur Kelulusan Murid”.
Pro-Kontra Ujian Nasional di Panggung Debat Spesial CCG
Debat dibuka dengan argumentasi tim pro yang menyebutkan adanya penurunan semangat dan motivasi belajar murid saat UN ditiadakan. Murid merasa tenang dan tidak butuh belajar dengan giat karena adanya kepastian lulus. Sedangkan lulusan dari UN memiliki mental dan daya berjuang.
Baca juga: Guru Juga Butuh Umpan Balik, Cerdas Cermat Guru Jadi Solusi
Argumentasi ini sejalan dengan narasi yang mendukung wacana kebijakan menteri pendidikan yang baru, yaitu dikembalikannya UN.
Menanggapi argumentasi tersebut, tim kontra mempertanyakan sejauh mana konsep “berjuang” yang harus dimiliki oleh murid. “Berjuang seperti apa yang diharapkan? Apakah bapak-ibu sepakat murid melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri karena hidup mereka ditentukan oleh UN yang hanya 3 hari itu?” tanya Andily, peserta dari Kabupaten Bandung kepada audiens.
Tim kontra menyampaikan penilaian PISA (Programme for International Student Assessment) yang menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia (selama dengan pelaksanaan UN) berada pada 10 tingkat terendah. UN meletakkan murid sebagai objek pendidikan yang diukur dengan standar angka yang dipukul sama rata, padahal pendidikan harusnya mengakomodasi kebutuhan murid.
Dengan asesmen yang ada saat ini, murid tidak hanya sekadar menghafal, tapi juga menganalisa, mencipta, dan berani bersuara. Penggunaan asesmen yang berfokus pada kekuatan, kebutuhan, dan tindak lanjut dari pembelajaran membuat tidak hanya guru mampu mengenali kebutuhan murid, tapi juga murid sendiri bisa mengenali kebutuhannya.
Perlu diketahui, pasca UN dihapus pada tahun 2019, murid dapat lulus jika sudah menyelesaikan semua program pembelajaran. Pada jenjang tertentu, satuan pendidikan biasanya menambahkan atau mengganti asesmen sumatif dengan proyek yang bermakna.
Baca Juga: Debat Guru: Perlukah Kurikulum Merdeka Dilanjut?
Tim kontra menambahkan, alat ukur kompetensi harus meliputi kompetensi kognitif, afektif, psikomotorik, dan bahkan karakter. Masalahnya, soal tertulis di UN tidak bisa membaca kompetensi tersebut secara holistik karena hanya mewakili murid dalam bentuk angka. Mereka juga menyoroti praktik kecurangan dan suap menyuap yang terjadi selama pelaksanaan UN.
Lebih dari Apa yang terlihat di Sekolah: UN dan Dampaknya di Ranah Domestik Keluarga
Perspektif menarik tapi cukup jarang diangkat muncul dari Nissa, salah satu peserta tim kontra dari Kabupaten Rembang. Dihubungi setelah kelas debat usai, Nissa kembali menegaskan pertanyaan mengenai motivasi belajar yang tim pro sebutkan.
“Kita perlu mampu melihat lebih jauh apakah betul dengan UN murid memiliki semangat belajar atau sebetulnya itu adalah tekanan, bahkan bentuk ketakutan? Murid takut dan merasa terancam jika orang tua marah, jika ternyata tidak berhasil mencapai nilai tersebut. Guru dan sekolah juga takut. Akhirnya kecurangan UN muncul,” katanya.

Nissa juga menyoroti bagaimana perempuan–dalam hal ini seorang ibu yang juga menjadi istri, mendapatkan kerentanan saat anaknya tidak lulus UN. Ibu, dalam rumah tangga yang tidak ada peran adil dan partisipatif dalam mengurus urusan domestik, rentan mendapatkan kekerasan verbal.
“Dampak dari UN ini seperti rantai yang tidak terputus. Ketika anak tidak lulus UN, kekerasan secara verbal dapat terjadi di keluarga. Pada akhirnya seorang suami dapat menyalahkan istri karena gagal menjadi ibu,” ungkapnya.
Baca Juga: Puncak Temu Pendidik Nusantara XI: Otonomi Guru dalam Belajar
“Suami yang juga pada dasarnya merasa gagal sebagai kepala keluarga, dapat melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya dengan sikap-sikap yang tidak baik,” sambung guru yang juga menjadi bagian dari Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN) Rembang dan Komunitas Rangkul Keluarga Kita tersebut.
Dua bulan pasca debat atau saat artikel ini diterbitkan, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) mengumumkan UN akan kembali diadakan pada tahun 2026.
Penulis: Rahmatul Amalia
Editor: YOSI