Temu Pendidik Nusantara

Debat Guru: Perlukah Kurikulum Merdeka Dilanjut?

Sebanyak 32 dari 1000 lebih tim Cerdas Cermat Guru melaju ke level nusantara di Puncak Temu Pendidik Nusantara XI pada Sabtu (2/11) di Pos Bloc, Jakarta Pusat. Mereka mendapat tantangan tiga kelas debat. Salah satu mosinya yakni “Kurikulum Merdeka berhasil meningkatkan kemampuan belajar murid”. Miskonsepsi Kurikulum Merdeka Dua tim yang berdebat di antaranya adalah KKG Jasinga sebagai tim pro dan Guya Ayen sebagai pihak kontra. Tim pro  memulai lebih dulu penyampaian argumen dengan mengungkapkan bahwa ada miskonsepsi dalam memahami kurikulum merdeka. Miskonsepsinya yakni kurikulum tersebut membebaskan anak-anak. Alih-alih membebaskan, tim pro menegaskan, kurikulum merdeka bersifat fleksibel. “Kurikulum merdeka disusun secara fleksibel. Jadi, guru bisa menyesuaikan diri dan memasukkan nilai-nilai yang membangun kepada peserta didik,” ujar Salman Fajri, salah seorang anggota tim. Menurutnya, kurikulum yang resmi diterapkan secara nasional pada 2024 itu telah mampu meningkatkan kompetensi serta karakter murid menjadi lebih baik. Keberhasilan tersebut hasil dari fleksibilitas yang memungkinkan guru merancang pembelajaran bermakna dengan prinsip kontekstual. Platform Merdeka Mengajar Menambah Beban Merespons pernyataan Salman, salah satu pembicara tim kontra Guya Ayen, Natasya Rizki Pratiwi menyangkal berdasarkan pengalamannya. Menurut Natasya, kurikulum merdeka gagal meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi murid. Dia menilai hal tersebut dibuktikkan skor PISA Indonesia yang dianggapnya mengalami stagnansi. Selain itu, tim kontra juga menyoroti pemakaian aplikasi Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang menambah beban kerja guru. “Kurikulum itu tidak boleh membuat guru kesulitan. Jika membuat kesulitan, lantas bagaimana proses pengajaran yang diberikan kepada siswa bisa berhasil?” kata tim kontra. Di akhir debat, penilaian dan apresiasi diberikan oleh para penonton dan dua juri. Salah satu juri, Agus berujar, kedua tim mempunyai gagasan yang bisa saling melengkapi. Dia menilai proses dinamika dalam kelas debat merupakan kegiatan yang harus terus dirawat. PISA 2022: Skor Turun, Peringkat Naik Perlu diketahui, hasil PISA 2022 yang diumumkan pada akhir 2023, skor literasi dan numersi murid Indonesia mengalami penurunan. Namun, peringkatnya naik dibanding hasil PISA sebelumnya tahun 2018. Nadiem Makarim yang saat itu menjabat sebagai Mendikbudristek menyampaikan, hal tersebut membuktikkan ketangguhan sistem pendidikan Indonesia menghadapi bencana COVID-19. Pemulihan dampak learning-loss pada murid Indonesia akibat pandemi lebih cepat dari rata-rata negara lain. Penulis: Naufal Nawwaf Editor: YOSI

Debat Guru: Perlukah Kurikulum Merdeka Dilanjut? Read More »

Puncak Temu Pendidik Nusantara XI: Otonomi Guru dalam Belajar

Puncak Temu Pendidik Nusantara XI (TPN XI) sukses digelar di Pos Bloc Jakarta pada Sabtu (2/11), mempertemukan lebih dari 2500 guru secara langsung dan 1000 peserta nonton bareng di 30 daerah. Dengan tema “Pemimpin Pendidikan Berdaya”, acara ini menghadirkan rangkaian sesi inspiratif, diantaranya talkshow pendidikan, kelas debat, kelas pendidik, kelas penggerak, pameran karya murid, dan Pasar Solusi Pendidikan. TPN XI semakin bermakna dengan kehadiran berbagai pihak, diantaranya Iwan Syahril (Dirjen PAUD & Dasmen Kemendikdasmen),  Dewi Sandra, Tya Ariestya Abdel Achrian dan anaknya, Delisha, dan 100 lebih guru dari berbagai daerah yang menjadi pembicara, bahkan dari daerah 3T. Bukik Setiawan, ketua Yayasan Guru Belajar, menjelaskan, transformasi cara belajar guru terjadi di TPN karena TPN memberi kepercayaan pada guru untuk menjadi pembicara.  “Era sebelum TPN, berbagai macam kegiatan membahas soal guru, termasuk seminar, simposium dan lainnya, tapi minim mempercayakan guru sebagai pembicara. Di TPN yang diselenggarakan sejak tahun 2014, guru bukan sekadar mendengar tapi juga didengar, guru layak menjadi narasumber, jadi sumber belajar untuk guru lainnya,” terang Bukik. Selain itu, di TPN, peserta juga mendapat otonomi untuk menentukan menu belajarnya sendiri. Ada banyak opsi kelas dan mereka dapat memilih kelas mana yang ingin diikuti menyesuaikan kebutuhan masing-masing. Kelas Debat: Guru Punya Perspektif yang Seharusnya Didengarkan Pemangku Kebijakan Total 32 tim dari berbagai daerah berbagi perspektif mengenai isu terkini dalam pendidikan di kelas debat. Dengan topik beragam mulai dari pemerataan akses pendidikan melalui zonasi hingga Ujian Nasional, diskusi ini memperlihatkan pandangan kritis yang jarang diungkapkan di ruang formal. Setiap argumen yang disampaikan menjadi cerminan pengalaman nyata guru di lapangan, menunjukkan bahwa mereka adalah pihak yang paling memahami apa yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Sesi ini menggambarkan adanya urgensi untuk mendengarkan dan mempercayai suara guru. “Bagi tim yang berdebat, ini adalah proses belajar, mereka mendapatkan umpan balik dari lawan debat bahkan juri, tim akan melengkapi dan memperkuat argumennya. Bagi penonton debat, ini kesempatan untuk memperkaya perspektif, memantik percakapan lanjutan,” jelas Bukik. 50 Guru Naik Kapal dari Sulawesi Selatan untuk Belajar di Puncak TPN XI Ada cerita inspiratif di balik ribuan peserta yang hadir di Puncak TPN XI. Lima puluh peserta asal Bantaeng, Sulawesi Selatan, berangkat sejak Rabu pagi karena harus melalui perjalanan darat dan laut selama tiga hari dua malam. Lima belas di antara peserta adalah pihak dinas pendidikan yang mendampingi termasuk kepala dinas. “Sebenarnya kami ingin urunan membiayai tiket pesawat kepala dinas, tapi ditolak. Katanya kalau kami naik kapal ya bapak juga naik kapal, bahkan maunya kamar juga yang ekonomi,” ungkap Rifal, anggota Komunitas Guru Belajar Nusantara Kabupaten Bantaeng, yang menjadi koordinator rombongan. “Selama di perjalanan banyak nasehat dan semangat dari bapak kadis. Ketika di Puncak kami harus menyebar ke semua kelas agar saat pulang bisa buat sesi berbagi dari apa yang kami dapatkan di sini. Untuk yang ikut debat juga ditekankan yang penting banyak belajarnya dari argumen tim lain,” tambah Rifal. Tahun ini bukan pertama kalinya bagi Rifal merasakan puncak acara TPN, pengalaman tahun lalu membuatnya ketagihan untuk terus belajar di forum ini. Menurutnya, ada banyak insight baru dari sesama guru meskipun dari daerah yang berbeda. “Sejak tahun lalu, saya sudah bertekad, setiap Puncak TPN saya harus ikut karena pasti akan selalu ada hal baru yang bisa saya dapatkan, saya mau upgrade diri,” tutup Rifal. (YOSI)

Puncak Temu Pendidik Nusantara XI: Otonomi Guru dalam Belajar Read More »

Ujian Nasional Diperdebatkan: Seberapa Problematis?

Guru Belajar Foundation kembali menggelar debat guru pada Sabtu (2/11) di Pos Bloc, Jakarta Pusat. Terdiri dari empat sesi, sesi terakhir merupakan debat spesial yang menghadirkan 8 guru terpilih dari 32 tim yang telah beradu argumen di sesi sebelumnya.  Melalui debat, guru diharapkan dapat belajar untuk berani bersuara dan berargumentasi dalam merespons suatu isu. “Guru, sebagai salah satu pihak yang terdampak langsung dari kebijakan pendidikan, penting untuk selalu dapat berpikir kritis dan menyuarakan pendapatnya untuk mengadvokasikan kebijakan yang lebih baik,” tutur Pandu Ario Bismo, Wakil Direktur Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, yang bertindak sebagai salah satu juri debat spesial.    Seperti halnya dengan mosi di kelas-kelas debat pada pagi harinya, mosi pada sesi debat spesial merupakan isu pendidikan yang relevan, menarik, dan penting untuk diangkat, yakni “Kembalinya Ujian Nasional (UN) sebagai Alat Ukur Kelulusan Murid”. Pro-Kontra Ujian Nasional di Panggung Debat Spesial CCG Debat dibuka dengan argumentasi tim pro yang menyebutkan adanya penurunan semangat dan motivasi belajar murid saat UN ditiadakan. Murid merasa tenang dan tidak butuh belajar dengan giat karena adanya kepastian lulus. Sedangkan lulusan dari UN memiliki mental dan daya berjuang. Baca juga: Guru Juga Butuh Umpan Balik, Cerdas Cermat Guru Jadi Solusi Argumentasi ini sejalan dengan narasi yang mendukung wacana kebijakan menteri pendidikan yang baru, yaitu dikembalikannya UN.  Menanggapi argumentasi tersebut,  tim kontra mempertanyakan sejauh mana konsep “berjuang” yang harus dimiliki oleh murid. “Berjuang seperti apa yang diharapkan? Apakah bapak-ibu sepakat murid melakukan hal yang membahayakan dirinya sendiri karena hidup mereka ditentukan oleh UN yang hanya 3 hari itu?” tanya Andily, peserta dari Kabupaten Bandung  kepada audiens. Tim kontra menyampaikan penilaian PISA (Programme for International Student Assessment)  yang menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia (selama dengan pelaksanaan UN) berada pada 10 tingkat terendah. UN meletakkan murid sebagai objek pendidikan yang diukur dengan standar angka yang dipukul sama rata, padahal pendidikan harusnya mengakomodasi kebutuhan murid.  Dengan asesmen yang ada saat ini, murid tidak hanya sekadar menghafal, tapi juga menganalisa, mencipta, dan berani bersuara. Penggunaan asesmen yang berfokus pada kekuatan, kebutuhan, dan tindak lanjut dari pembelajaran membuat tidak hanya guru mampu mengenali kebutuhan murid, tapi juga murid sendiri bisa mengenali kebutuhannya. Perlu diketahui, pasca UN dihapus pada tahun 2019, murid dapat lulus jika sudah menyelesaikan semua program pembelajaran. Pada jenjang tertentu, satuan pendidikan biasanya menambahkan atau mengganti asesmen sumatif dengan proyek yang bermakna. Baca Juga: Debat Guru: Perlukah Kurikulum Merdeka Dilanjut? Tim kontra menambahkan, alat ukur kompetensi harus meliputi kompetensi kognitif, afektif, psikomotorik, dan bahkan karakter. Masalahnya, soal tertulis di UN tidak bisa membaca kompetensi tersebut secara holistik karena hanya mewakili murid dalam bentuk angka. Mereka juga menyoroti praktik kecurangan dan suap menyuap yang terjadi selama pelaksanaan UN.  Lebih dari Apa yang terlihat di Sekolah: UN dan Dampaknya di Ranah Domestik Keluarga  Perspektif menarik tapi cukup jarang diangkat muncul dari Nissa, salah satu peserta tim kontra dari Kabupaten Rembang. Dihubungi setelah kelas debat usai, Nissa kembali menegaskan pertanyaan mengenai motivasi belajar yang tim pro sebutkan. “Kita perlu mampu melihat lebih jauh apakah betul dengan UN murid memiliki semangat belajar atau sebetulnya itu adalah tekanan, bahkan bentuk ketakutan? Murid takut dan merasa terancam jika orang tua marah, jika ternyata tidak berhasil mencapai nilai tersebut. Guru dan sekolah juga takut. Akhirnya kecurangan UN muncul,” katanya. Nissa juga menyoroti bagaimana perempuan–dalam hal ini seorang ibu yang juga menjadi istri, mendapatkan kerentanan saat anaknya tidak lulus UN. Ibu, dalam rumah tangga yang tidak ada peran adil dan partisipatif dalam mengurus urusan domestik, rentan mendapatkan kekerasan verbal.  “Dampak dari UN ini seperti rantai yang tidak terputus. Ketika anak tidak lulus UN, kekerasan secara verbal dapat terjadi di keluarga. Pada akhirnya seorang suami dapat menyalahkan istri karena gagal menjadi ibu,” ungkapnya. Baca Juga: Puncak Temu Pendidik Nusantara XI: Otonomi Guru dalam Belajar “Suami yang juga pada dasarnya merasa gagal sebagai kepala keluarga, dapat melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya dengan sikap-sikap yang tidak baik,” sambung guru yang juga menjadi bagian dari Komunitas Guru Belajar Nusantara (KGBN) Rembang dan Komunitas Rangkul Keluarga Kita tersebut.     Dua bulan pasca debat atau saat artikel ini diterbitkan,  Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) mengumumkan UN akan kembali diadakan pada tahun 2026. Penulis: Rahmatul Amalia Editor: YOSI

Ujian Nasional Diperdebatkan: Seberapa Problematis? Read More »

Guru juga Butuh Umpan Balik, Cerdas Cermat Guru jadi Solusi

Guru Belajar Foundation kembali menggelar Cerdas Cermat Guru (CCG), asesmen formatif untuk pendidik agar mengetahui level kompetensinya. CCG merupakan rangkaian belajar Temu Pendidik Nusantara XI (TPN XI) yang terbagi menjadi dua level, yakni level daerah dan level nusantara. Maman Basyaiban, ketua penyelenggara TPN XI menuturkan, kurangnya keberagaman upaya peningkatan kompetensi guru menjadi penyebab diluncurkannya program ini. Pertama, kompetensi guru tidak menjadi bahan perbincangan keseharian guru. Kedua, banyak program pengembangan kompetensi guru tapi minim yang membantu guru mengetahui level kompetensinya atau minim umpan balik. Ketiga, program untuk mengetahui level kompetensi biasanya high stakes seperti uji kompetensi kenaikan jabatan, yang hasilnya sangat mempengaruhi masa depan karier guru. Baca juga: Temu Pendidik Nusantara Dapat Pengakuan Internasional “Mengapa umpan balik perlu lebih banyak? Ibarat orang yang belajar memasak, sudah membaca banyak buku resep, menonton banyak tutorial masak, sudah mencoba memasak juga, tetap butuh makanannya dicicipi dan mendapat masukan dari orang lain. Dari situ jadi bisa mengukur diri apa yang perlu ditingkatkan dari masakannya. Sama halnya dengan guru yang mengajar, butuh umpan balik.” Umpan balik yang diberikan berupa piagam level kompetensi dan rekomendasi pelatihan yang sesuai dengan hasil CCG masing-masing. Selain luring di 34 daerah pada bulan Juni-Juli, level daerah akan berlangsung secara daring untuk memfasilitasi pendidik yang lebih banyak pada bulan Agustus. Pendidik akan mendapat soal tantangan konseptual dan praktik yang dirancang sesuai Perdirjen nomor 2626 tahun 2023 mengenai Model Kompetensi Guru. Tim yang lolos pada level daerah akan lanjut ke level nusantara pada bulan November di puncak TPN XI. Pendidik akan menghadapi tantangan kontekstual dengan format debat. “CCG merupakan ruang belajar untuk guru agar tahu level kompetensinya dengan cara yang seru. Itu juga kenapa CCG pesertanya tim bukan individu, agar guru terbiasa berdiskusi tentang kompetensi yang perlu mereka kuasai untuk menyelesaikan tantangan mengajar,” jelas Maman. Ikut CCG Jadi Tahu Mana yang Perlu Dipelajari Lebih Lanjut Nurhayati, guru SMA Negeri 3 Sinjai yang jadi peserta CCG tahun lalu,  mengungkapkan rasa syukurnya mengikuti kegiatan tersebut. “Ketika mengikuti CCG, saya justru bersyukur ketika menemukan kesalahan. Jadi saya masih punya ruang untuk belajar, ternyata titik lemah saya di bagian ini atau bagian itu. Dan yang seru saat berdebat dengan anggota satu tim untuk menentukan jawaban mana yang benar karena di situ kami jadi berdiskusi,” katanya. Dirinya siap untuk ikut lagi di CCG tahun ini, bahkan hal ini sudah dia nanti sejak selesai ikut CCG tahun lalu. Menurutnya, belajar di CCG rasanya berbeda dan menyenangkan. Soal yang diberikan dan kemudian didiskusikan sesuai dengan masalah sehari-hari yang dia hadapi di sekolah. “Saya belum pernah ikut event guru seseru CCG. Di awal, saya pikir ini kompetisi tapi ternyata sesi belajar dan berefleksi, jadi tahu mana hal-hal yang kurang tepat yang kami lakukan sebagai guru,” tutup Nurhayati. (YOSI)

Guru juga Butuh Umpan Balik, Cerdas Cermat Guru jadi Solusi Read More »

guru belajar foundation unesco hamdan prize

Temu Pendidik Nusantara Mendapat Pengakuan Internasional

Temu Pendidik Nusantara (TPN), forum pendidikan yang diinisiasi oleh Guru Belajar Foundation (GBF) pada tahun 2014, mendapat nominasi penghargaan internasional bergengsi UNESCO Hamdan Prize for Teacher Development 2024.  Penghargaan ini diberikan untuk mengakui kontribusi luar biasa dalam meningkatkan kapasitas guru dan kualitas pendidikan secara global. Adapun pengumuman akhirnya akan berlangsung satu hari sebelum Hari Guru Sedunia, yakni Jumat (4/10) di Paris, Perancis. Bukik Setiawan, ketua GBF, yang berangkat ke lokasi upacara penyerahan penghargaan, mengatakan, TPN tidak hanya fokus pada aspek teknis pendidikan, tapi juga memperhatikan pentingnya pengalaman dan suara guru dalam proses belajar mengajar. “Apa yang kami upayakan melalui TPN selaras dengan tema hari guru tahun ini, valuing teacher voices. Di TPN, guru memiliki otonomi untuk mengatur apa dan bagaimana mereka belajar,” jelas Bukik. Otonomi ini berhasil memberdayakan komunitas guru, memungkinkan mereka untuk menghadapi tantangan dengan lebih proaktif, bukan hanya menunggu solusi dari pemangku kepentingan. Guru aktif saling berbagi praktik baik dan menerapkan metode yang telah berhasil di ekosistem lain ke dalam konteks mereka sendiri. Berkat kuatnya komunitas guru, TPN kini telah berdampak pada 1,4 juta murid melalui 41.000 lebih guru di 82 daerah di Indonesia, dari area rural hingga pelosok. “Terpilih menjadi finalis 10 besar dunia Hamdan Prize menjadi penanda bahwa memuliakan suara guru adalah yang dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas pendidikan dan kami sudah membuktikannya di Indonesia,” tutur Bukik. UNESCO Hamdan Prize Mendukung SDG 4 UNESCO Hamdan Prize for Teacher Development lahir dari kebutuhan untuk mendukung program yang secara inovatif memperbaiki pengajaran dan pembelajaran di seluruh dunia, terutama di negara-negara yang memiliki kesulitan dalam akses pendidikan berkualitas. Penghargaan ini diprakarsai pada tahun 2009 oleh oleh Sheikh Hamdan bin Rashid Al Maktoum, Wakil Penguasa Dubai dan Menteri Keuangan Uni Emirat Arab. Setiap dua tahun, UNESCO Hamdan Prize diberikan kepada tiga pemenang yang dianggap memberikan kontribusi terbesar terhadap peningkatan efektivitas guru.  Pada tahun 2024, ada sepuluh program dari tujuh negara berbeda yang menjadi finalis, yakni Angola, Bangladesh, Brazil, RRC, Norwegia, Togo, dan Indonesia. Penghargaan ini sangat selaras dengan SDG 4 (Sustainable Development Goal 4), yang bertujuan untuk memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas serta mendorong kesempatan belajar sepanjang hayat bagi semua. (YMH)

Temu Pendidik Nusantara Mendapat Pengakuan Internasional Read More »