
Total 10 Kelas Pendidik di Puncak Temu Pendidik Nusantara XI sukses terselenggara. Kelas paralel yang digelar pada Sabtu (2/11) tersebut menghadirkan 30 guru dari berbagai penjuru nusantara atau masing-masing kelas terdapat 3 pembicara.
Salah satunya mengusung judul “Memanusiakan Hubungan: Murid Dihapahami, Guru Dimengerti”. Kelas ini fokus pada bagaimana pengalaman pembicara sebagai guru mempraktikkan cara kreatif untuk memahami murid.
Andi Zupriaty: Guru Marah jadi Ramah
Pembicara pertama, Andi Zupriaty, guru SMK Negeri 7 Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan, memulai dengan menceritakan kondisi kelasnya dahulu yang penuh tantangan karena banyak murid malas, sulit diatur, dan seringkali tidak memenuhi ekspektasinya.
Beban mengajar 12 jam pelajaran sehari membuat Andi merasa lelah merespons sikap para muridnya. Seringkali Andi marah kepada murid-muridnya yang berakibat dirinya dicap sebagai guru killer.
Baca juga: Puncak Temu Pendidik Nusantara XI: Otonomi Guru dalam Belajar
“Namun, beruntungnya saya dipertemukan dengan TPN beberapa waktu lalu yang diselenggarakan di Pangkep. Di situ saja baru tahu tentang asesmen diagnostik dan menyadari kalau permasalahan yang saya hadpi berasal dari ketidakmampuan saya memahami sudut pandang murid,” ungkap Andi.
Melalui pengalamannya ini, Andi menekankan pentingnya refleksi diri bagi guru. Guru yang berefleksi jadi mengetahui kebutuhan belajarnya sehingga dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan nyaman bagi murid.
“Saya memutuskan untuk beralih menjadi guru ramah, yang lebih sabar dan mendengarkan. Hasilnya pun terlihat, semakin banyak murid yang terbuka dan bahkan berani mencurahkan perasaan mereka,” lanjut Andi.
Nur Laely: Guru Perlu Merangkul Korban Maupun Pelaku Bullying
Meneruskan Andi, Nur Laely, guru MI Al Anwar Rembang, Jawa Tengah, membagikan pengalamannya dalam mengatasi fenomena perundungan di sekolah, terutama yang dialami oleh murid-murid dari luar Pulau Jawa.
Nur mengatakan, seringkali korban perundungan merasa cemas dan tidak nyaman. Hal itu berdampak kesehatan mental korban perundungan yang berujung pada penurunan kualitas belajar. Dia juga menceritakan bagaimana korban sering izin sakit.
Baca juga: Debat Guru: Perlukah Kurikulum Merdeka Dilanjut?
“Akhirnya saya coba merangkul baik korban maupun pekau perundungan dengan membuka ruang curhat melalui surat. Kenapa surat, agar mereka tidak canggung dan berani lebih terbuka,” jelas Nur.
Melalui surat tersebut, ia memperoleh banyak pandangan baru, termasuk bahwa beberapa pelaku perundungan sebelumnya juga adalah korban. Setelah berani terbuka melalui surat, Nur akan mengajak mereka untuk betemu dan mendiskusikan perasaan masing-masing.
Dalam pertemuan tersebut, antara pelaku dan korban saling memaafkan dan hubungan mereka kembali membaik. “Selain dari merangkul korban bullying, kita juga harus tahu motif pelaku bullying. Jangan sampai kita abai atas apa yang mereka rasakan,” tuturnya.
I Gusti Ayu: Cara Kreatif untuk Dekat dengan Guru
Tidak kalah menarik, I Gusti Ayu, guru SMP Negeri 2 Nubatukan, Lembata, Nusa Tenggara Timur ikut menceritakan pengalamannya mengatasi tantangan mengajar. Ketika pertama kali mengajar, murid tidak menghargai sikap lembut dan santunnya.
Alih-alih menggunakan hukuman, Ayu mencoba metode pengajaran yang lebih interaktif dengan mengajak para murid bermain permainan tradisional dan menonton film bermakna, seperti film tentang kasih sayang kepada ibu.
Melalui pengalaman ini, Ayu menekankan pentingnya pendekatan kreatif yang menyenangkan. Tidak hanya mengajarkan pelajaran akademis, tetapi juga nilai-nilai moral yang membangun karakter murid.
“Semenjak metode pengajaran saya berubah, murid-murid jadi menghargai saya, bahkan saya sekarang dijadikan guru paling favorit bagi mereka,” tutup Ayu.
Penulis: Akmal
Editor: YOSI