Pengembangan jiwa kepemimpinan pada murid masih menghadapi tantangan nyata. Data dari Student Dialogue oleh Teach For Malaysia, tahun 2019, menunjukkan, hanya 39% murid yang merasa dirinya adalah pemimpin.
Selain itu, 83% murid masih berpikir bahwa bahwa kepemimpinan hanya berkaitan dengan kedudukan daripada kompetensi. Pandangan seperti ini dapat menghambat individu untuk membawa perubahan.
Strategi Mengembangkan Kepemimpinan Murid
Revolusi industri 4.0 menuntut individu memiliki jiwa kepemimpinan. Patrick Emifiled, koordinator Student Project Teach For Malaysia menjelaskan empat strategi mengembangkannya.
Pembelajaran Sosial dan Emosional
Orang dewasa pun terkadang masih kesulitan dalam menyampaikan emosi. Sama ketika orang bertanya kelebihan kita, kita tidak benar-benar mengetahui untuk menjawabnya secara tepat.
“Kita perlu mengajarkan kompetensi untuk lebih mengenal dan memahami diri sendiri dan orang lain pada murid sejak dini. Bagaimana mereka lebih aware akan diri mereka sendiri dan sekelilingnya,” papar Patrick saat menjadi narasumber kelas internasional pekan Temu Pendidik Nusantara X pada Senin (9/10).
Strategi sederhana yang dapat dilakukan adalah mengawali hari dengan menanyakan pada murid untuk menjelaskan perasaan mereka pada saat itu menggunakan skala 1-10.
Komunikasi
“Murid harus mampu berkomunikasi dengan efektif. Strategi yang pendidik dapat lakukan adalah melalui think, pair, and share,” ucap Patrick.
Pendidik perlu memberi murid ruang dan waktu untuk berpikir terlebih dahulu sebelum membagikan opini di depan kelas. Untuk meningkatkan rasa percaya diri murid, guru pun dapat meminta murid lain untuk memberikan feedback.
“Bisa saling berbagi komentar positif, misal ‘Hey, I like your idea’. Di sinilah pair bekerja. Saat murid merasa percaya diri dan siap, maka pendidik bisa mulai mempersilahkan mereka membagi pikirannya di depan kelas,” jelas Patrick di kelas yang diadakan oleh Cerita Guru Belajar itu.
Resilience atau Kekuatan Mental
“Bukan hal yang mudah untuk murid bangkit dari keterpurukan saat menghadapi kegagalan. Ada andil mengakarnya budaya orang tua Asia, bagaimana anak diharapkan untuk menjadi yang terbaik dan tidak menunjukkan struggle,” ucap Patrick.
Hal ini tidak memberi ruang pada murid untuk berpengalaman menghadapi dan mengolah kegagalan. Guru patut memberi kesempatan murid untuk menjadi vulnerable sambil mengupayakan untuk menghadapi risikonya.
“Strategi yang dapat dilakukan adalah mengajak para murid bermain tongue twister. Menarik melihat satu sama lain kesulitan dan melakukan kesalahan saat mengucapkan kalimat-kalimat lucu yang rumit,” ucap Patrick.
Bukan menertawakan kegagalan, tetapi bagaimana murid menerima kenyataan bahwa aman dan boleh untuk mereka melakukan kesalahan. Hal pentingnya adalah mereka terus bergerak menghadapi dan mengatasinya.
Entrepreneurship
Untuk entrepreneurship, Patrick menjelaskan strategi yang dapat guru lakukan adalah mendampingi murid menentukan personal learning goal mereka.
“Setting goals menjadi sangat penting karena dapat membantu untuk on track dalam menentukan fokus dan energi murid. Ketika murid tahu apa tujuannya, mereka menjadi paham bahwa mereka harus benar-benar mewujudkannya.”
Di akhir sesi Patrick menekankan bahwa guru harus yang pertama percaya bahwa murid mereka memiliki potensi dan mampu melakukan hal-hal besar. Apa pun kondisi, tantangan, dan kondisi yang mereka hadapi.
“Jangan lupa komunikasikan terlebih dahulu pada murid, apa pesan dari setiap permainan dan strategi yang dilakukan. Sehingga mereka paham dan tujuan dari pengembangan kompetensinya dapat tercapai,” tutup Patrick mengingatkan.
Penulis: Dasa Feby
Editor: Yosinta Maharani Here
Pingback: Webinar Projek Profil Kampus Guru Cikal: Panduan Sukses P5 - Yayasan Guru Belajar